Feodalisme sesungguhnya memang menggambarkan sebuah sistem  pemerintahan yang terbentuk oleh sebuah struktur hirarki kebangsawanan  yang diwariskan secara genetika. Namun pada konteks ini yang ingin  dikedepankan adalah feodalisme secara sosiologis. Revolusi Perancis  adalah sebuah contoh bagaimana sebuah struktur masyarakat yang feodal  berubah menjadi struktur masyarakat yang bebas.
Namun feodalisme tetaplah feodalisme yang tidak mungkin bisa  dihilangkan dari struktur sosial kemasyarakatan. Selama struktur  piramida sosial masih memberikan previlese kepada sekelompok orang untuk  diposisikan sebagai  
primus inter pares – 
the first among equals -, maka selama itu pula feodalisme tak pernah hilang dari muka bumi.
Dengan kemasan dan benchmark yang berbeda, feodalisme hadir dengan  wajah yang berbeda, dari wajah monarchi ke wajah demokrasi namun  substansi dan esensinya sama dan tetap bisa dikenali. Jikalau di masa keemasan monarchi, Raja dan para bangsawan berjalan  menyusuri jalanan kota, maka seluruh penduduk langsung bersimpuh dan  menjura. Semua kegiatan berhenti sekedar untuk menghormat kepada Sang  Raja dan para bangsawan. Kini setelah tidak ada lagi Raja yang  mendapatkan kekuasaannya karena faktor genetika, maka Presiden yang  mendapatkan kekuasaannya karena pilihan rakyat pun ternyata masih  melakukan hal yang sama. Rombongan Presiden dengan sirine meraung-raung  menghentikan semua kendaraan dan mengosongkan jalan agar bisa dilewati  oleh rombongan Presiden tanpa peduli akan kemacetan yang ditimbulkan.
Wajah lain dari feodalisme juga bisa terihat dari bagaimana para Raja  dulu mengangkat pembantu-pembantunya para patih dan senapati. Tentu  yang diangkat adalah mereka yang juga masih bagian dari kalangan  genetika darah biru yang sama. Simbol-simbol gelar keningratan dan  kebangsawanan adalah tolok ukur kekentalan kekerabatan dengan sang  penguasa.
Kini, ketika gelar kebangsawanan dan keningratan sudah dimuseumkan,  maka penggantinya adalah gelar-gelar akademis yang menjulang tinggi  digunakan sebagai tolok ukurnya. Kekentalan kekerabatan pun dibangun  melalui koneksi almamater sehingga muncul apa yang disebut dengan Ohio  Connection, Harvard Connection, UI Connection, ITB Connection, Unpad  Connection, UGM Connection dan masih banyak lagi.
Sentra-sentra ruang kekuasaan diperebutkan oleh kelompok-kelompok  kekerabatan almamater. Sudah bukan rahasia lagi ketika mengamati dengan  jeli adanya pengkaplingan di berbagai Departemen dan instansi  pemerintahan atas dasar kekerabatan almamater. Departemen Luar negeri  misalnya, adalah dibawah penguasaan kekerabatan almamater Universitas  Pajajaran khususnya Fakultas Sosial Politik jurusan Hubungan  Internasional. Departemen-departemen yang terkait dengan  Ekonomi-Keuangan-Moneter dikuasai oleh kekerabatan Universitas  Indonesia. Demikian pula di ranah Iptek, kekerabatan akademik ITB  berjaya menguasainya.
Maka tak perlu heran jika seorang eselon dua tiba-tiba muncul jadi  menteri kesehatan di republik ini jika bisa melihat dengan cermat bahwa  orang tersebut ternyata adalah made in USA lulusan Harvard University.
Lalu apa persoalan dan masalahnya?
Persoalannya tentu bukan lagi hanya pada feodalisme monarchi ataupun  feodalisme demokrasi. Juga bukan pada apakah kekuasaan yang diperoleh  melalui kekerabatan genetik ataupun kekerabatan almamater. Namun yang  lebih fundamental adalah, “Apakah feodalisme monarchi yang berbasis pada  kekerabatan genetik ataupun feodalisme demokrasi yang berbasis pada  kekerabatan almamater bisa membawa rakyat, bangsa dan negeri ini  berkedaulatan dibidang politik, mandiri di bidang ekonomi serta  berkepribadian di bidang budaya untuk membawa pada masyarakat yang adil,  aman dan makmur?”
Tatkala pertanyaan tersebut tak bisa dijawab dengan bukti dan langkah konkrit, maka demokrasi sama mudharatnya dengan monarkhi.
Hlo kok jadi ngelantur…, lantas apa hubungannya Neo Feodalisme dengan Google Page Rank?
Begini ceritanya. Seorang kawan blogger pernah bertanya kepada saya,  “Mengapa blogger-blogger yang blognya sudah ber-pagerank tinggi sedikit  sekali yang mau melakukan blogwalking? Maunya kok cuma ‘disowani’?”  Pertanyaan tersebut terlontar beberapa bulan yang lalu namun saya belum  bisa menjawabnya.
Namun dari hari ke hari muncul fenomena di kalangan para blogger yang  cukup menyita perhatian. Terlihat adanya peningkatan libido untuk  mengejar page rank yang semakin tinggi. Page rank menjadi sebuah berhala  baru yang menjadi simbol status seperti halnya gelar kebangsawanan dan  gelar akademik. Page rank melahirkan kasta-kasta diantara blogger.
Memang bagi kawan - kawan blogger yang melakukan monetize, page rank adalah  sebuah benchmark yang digunakan untuk mampu meleverage potensi blog  yang dimiliki untuk menambah pundi-pundi kocek mereka terutama yang  terkait dengan SEO, adsense dan review. Tetapi bagi blogger yang tidak  melakukan monetize, sebenarnya page rank hampir tidak ada gunanya selain  sekedar untuk memuaskan libido narcis yang lapar popularitas.
Pada akhirnya untuk menjawab pertanyaan kawan tersebut, saat ini saya  hanya memiliki sebuah hipothesis. Google Page Rank nampaknya telah  memicu munculnya feodalisme blogger. Banyak para bangsawan Blogger  dengan gelar kebangsawanan PR 3 keatas merasa harus diperlakukan lebih  istimewa – 
primus inter pares- dari yang lain. Sampai-sampai  ada sebuah cerita yang sampai ke telinga saya tentang sebuah peristiwa  yang terjadi di acara Wisata Blogger Wonosobo 2009 dimana serombongan  blogger yang sudah berada di atas bus yang siap berangkat ke sebuah  lokasi acara terpaksa harus menunggu lama karena ada seorang bangsawan  blogger yang terlambat datang dan ingin ikut naik bersama bus tersebut.  Ironisnya, setelah ditunggu sekian lama sang bangsawan blogger malah  tidak jadi naik ke bus yang sudah menunggu.
Alangkah senangnya jika hipothesis ini salah, semoga…
disadur dari : 
itempoeti.com