Rahasia Dibalik Harga yang Berakhiran 99
12.06 | Author: ALUMNI IPA 4 SMAGAPATI
Coba kawan nyalakan TV atau buka koran, Lihat beberapa iklan yang keluar, seperti "...dapatkan segera HP ini hanya 399ribu kok...". Lalu kenapa kok harus 399 kenapa gak digenapin menjadi 400 atau 300 saja??? begini kawan ceritanya


Karena orang pemasaran paham mengenai hukum Benford. Manusia pada umumnya tidak terlalu paham dengan pembulatan. Lihat aja waktu kamu sekolah, berapa banyak yang pintar matematika. Jadi berapa pembulatan dari 499? Secara psikologis orang akan langsung mengira 499 lebih dekat ke 400, bukannya 500. Jadi murah atau mahal? Murah. Padahal bedanya hanya 1 rupiah dari 500.

Dalam salah satu percobaan paling terkenal dalam pemasaran, profesor Robert Schindler dan rekan-rekannya melakukan pengujian dengan katalog pakaian wanita. Ada tiga jenis katalog, katalog dengan harga berakhiran 88, katalog berakhiran 99 dan katalog berakhiran 00. Jadi baju misalnya, di katalog A berharga 488, di katalog B berharga 499 dan di katalog C berharga 500.

Dalam penelitian ini, terlibat 90 ribu orang. Bayangkan! Mereka dibagi tiga kelompok. Masing-masing kebagian satu katalog saja dan tidak sadar kalau ada tiga katalog.

Ternyata orang paling banyak membeli berdasarkan katalog yang berkahiran 99. Ada peningkatan penjualan 8 persen dibandingkan katalog berakhiran 00, padahal penurunan harga hanya tiga perseratus persen (0.03%).

Tidak peduli berapapun angka pertama, sejauh dia bukan 9 atau 0 dan bila di ikuti oleh 99, maka orang mengira bahwa angka pertama lebih dekat daripada seharusnya.
199 dibulatkan jadi 100
299 dibulatkan jadi 200
399 dibulatkan jadi 300
499 dibulatkan jadi 400
Dst
Tapi
999, umm, masak sih jadi 900, ini kalau dibulatkan 1000

Hukum Benford menyatakan bahwa 9 adalah angka paling sulit ditemukan di awal, sehingga manusia secara evolusioner tidak terlalu akrab dengannya. 9 terlalu banyak. Ambil gampangnya, angka pertama.

Jadi jangan heran kawan kalau sekarang ini banyak promosi iklan-iklan yang harganya 399,499,599, dll lah.

READ MORE - Rahasia Dibalik Harga yang Berakhiran 99
Googe Page Rank dan Neo Feodalisme
11.36 | Author: ALUMNI IPA 4 SMAGAPATI
Feodalisme sesungguhnya memang menggambarkan sebuah sistem pemerintahan yang terbentuk oleh sebuah struktur hirarki kebangsawanan yang diwariskan secara genetika. Namun pada konteks ini yang ingin dikedepankan adalah feodalisme secara sosiologis. Revolusi Perancis adalah sebuah contoh bagaimana sebuah struktur masyarakat yang feodal berubah menjadi struktur masyarakat yang bebas.


Namun feodalisme tetaplah feodalisme yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari struktur sosial kemasyarakatan. Selama struktur piramida sosial masih memberikan previlese kepada sekelompok orang untuk diposisikan sebagai primus inter paresthe first among equals -, maka selama itu pula feodalisme tak pernah hilang dari muka bumi.

Dengan kemasan dan benchmark yang berbeda, feodalisme hadir dengan wajah yang berbeda, dari wajah monarchi ke wajah demokrasi namun substansi dan esensinya sama dan tetap bisa dikenali. Jikalau di masa keemasan monarchi, Raja dan para bangsawan berjalan menyusuri jalanan kota, maka seluruh penduduk langsung bersimpuh dan menjura. Semua kegiatan berhenti sekedar untuk menghormat kepada Sang Raja dan para bangsawan. Kini setelah tidak ada lagi Raja yang mendapatkan kekuasaannya karena faktor genetika, maka Presiden yang mendapatkan kekuasaannya karena pilihan rakyat pun ternyata masih melakukan hal yang sama. Rombongan Presiden dengan sirine meraung-raung menghentikan semua kendaraan dan mengosongkan jalan agar bisa dilewati oleh rombongan Presiden tanpa peduli akan kemacetan yang ditimbulkan.

Wajah lain dari feodalisme juga bisa terihat dari bagaimana para Raja dulu mengangkat pembantu-pembantunya para patih dan senapati. Tentu yang diangkat adalah mereka yang juga masih bagian dari kalangan genetika darah biru yang sama. Simbol-simbol gelar keningratan dan kebangsawanan adalah tolok ukur kekentalan kekerabatan dengan sang penguasa.

Kini, ketika gelar kebangsawanan dan keningratan sudah dimuseumkan, maka penggantinya adalah gelar-gelar akademis yang menjulang tinggi digunakan sebagai tolok ukurnya. Kekentalan kekerabatan pun dibangun melalui koneksi almamater sehingga muncul apa yang disebut dengan Ohio Connection, Harvard Connection, UI Connection, ITB Connection, Unpad Connection, UGM Connection dan masih banyak lagi.
Sentra-sentra ruang kekuasaan diperebutkan oleh kelompok-kelompok kekerabatan almamater. Sudah bukan rahasia lagi ketika mengamati dengan jeli adanya pengkaplingan di berbagai Departemen dan instansi pemerintahan atas dasar kekerabatan almamater. Departemen Luar negeri misalnya, adalah dibawah penguasaan kekerabatan almamater Universitas Pajajaran khususnya Fakultas Sosial Politik jurusan Hubungan Internasional. Departemen-departemen yang terkait dengan Ekonomi-Keuangan-Moneter dikuasai oleh kekerabatan Universitas Indonesia. Demikian pula di ranah Iptek, kekerabatan akademik ITB berjaya menguasainya.

Maka tak perlu heran jika seorang eselon dua tiba-tiba muncul jadi menteri kesehatan di republik ini jika bisa melihat dengan cermat bahwa orang tersebut ternyata adalah made in USA lulusan Harvard University.

Lalu apa persoalan dan masalahnya?

Persoalannya tentu bukan lagi hanya pada feodalisme monarchi ataupun feodalisme demokrasi. Juga bukan pada apakah kekuasaan yang diperoleh melalui kekerabatan genetik ataupun kekerabatan almamater. Namun yang lebih fundamental adalah, “Apakah feodalisme monarchi yang berbasis pada kekerabatan genetik ataupun feodalisme demokrasi yang berbasis pada kekerabatan almamater bisa membawa rakyat, bangsa dan negeri ini berkedaulatan dibidang politik, mandiri di bidang ekonomi serta berkepribadian di bidang budaya untuk membawa pada masyarakat yang adil, aman dan makmur?”

Tatkala pertanyaan tersebut tak bisa dijawab dengan bukti dan langkah konkrit, maka demokrasi sama mudharatnya dengan monarkhi.

Hlo kok jadi ngelantur…, lantas apa hubungannya Neo Feodalisme dengan Google Page Rank?
Begini ceritanya. Seorang kawan blogger pernah bertanya kepada saya, “Mengapa blogger-blogger yang blognya sudah ber-pagerank tinggi sedikit sekali yang mau melakukan blogwalking? Maunya kok cuma ‘disowani’?” Pertanyaan tersebut terlontar beberapa bulan yang lalu namun saya belum bisa menjawabnya.
Namun dari hari ke hari muncul fenomena di kalangan para blogger yang cukup menyita perhatian. Terlihat adanya peningkatan libido untuk mengejar page rank yang semakin tinggi. Page rank menjadi sebuah berhala baru yang menjadi simbol status seperti halnya gelar kebangsawanan dan gelar akademik. Page rank melahirkan kasta-kasta diantara blogger.

Memang bagi kawan - kawan blogger yang melakukan monetize, page rank adalah sebuah benchmark yang digunakan untuk mampu meleverage potensi blog yang dimiliki untuk menambah pundi-pundi kocek mereka terutama yang terkait dengan SEO, adsense dan review. Tetapi bagi blogger yang tidak melakukan monetize, sebenarnya page rank hampir tidak ada gunanya selain sekedar untuk memuaskan libido narcis yang lapar popularitas.

Pada akhirnya untuk menjawab pertanyaan kawan tersebut, saat ini saya hanya memiliki sebuah hipothesis. Google Page Rank nampaknya telah memicu munculnya feodalisme blogger. Banyak para bangsawan Blogger dengan gelar kebangsawanan PR 3 keatas merasa harus diperlakukan lebih istimewa – primus inter pares- dari yang lain. Sampai-sampai ada sebuah cerita yang sampai ke telinga saya tentang sebuah peristiwa yang terjadi di acara Wisata Blogger Wonosobo 2009 dimana serombongan blogger yang sudah berada di atas bus yang siap berangkat ke sebuah lokasi acara terpaksa harus menunggu lama karena ada seorang bangsawan blogger yang terlambat datang dan ingin ikut naik bersama bus tersebut. Ironisnya, setelah ditunggu sekian lama sang bangsawan blogger malah tidak jadi naik ke bus yang sudah menunggu.

Alangkah senangnya jika hipothesis ini salah, semoga…

disadur dari : itempoeti.com
READ MORE - Googe Page Rank dan Neo Feodalisme