Sewaktu  Nabi Ismail mencapai usia remajanya Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi  bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya. Dan mimpi seorang nabi  adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah, maka perintah  yang diterimanya dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim.  Ia duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat yang ia  hadapi. Sebagai seorang ayah yang dikurniai seorang putera yang sejak  puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan, seorang putera yang telah  mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah dapat dimanfaatkan oleh si  ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung  kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus  direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.
Namun  ia sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa agama yang  seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam  bertaat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan  cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda  dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan  melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan  perintah itu.
Sungguh amat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud:
“Allah lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya”.
Nabi  Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam (niat) tetap akan menyembelih  Nabi Ismail puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang  telah diterimanya. Dan berangkatlah serta merta Nabi Ibrahim menuju ke  Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah  perintahkan.
Nabi  Ismail sebagai anak yang soleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti  kepada orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya  kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang berkata kepada ayahnya:
“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”
Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata:
“Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah”.
Saat  penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan  kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang  tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua  mata nabi Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah  puteranya ke parang yang mengilap di tangannya, seakan-akan pada masa  itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah  di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di satu pihak yang lain. Pada  akhirnya dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi  Ismail dan penyembelihan di lakukan . Akan tetapi apa daya, parang yang  sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail  dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana  diharapkan.
Kejadian  tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa  perintah perkorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan  Nabi Ismail sampai sejauh mana cinta dan taat mereka kepada Allah.  Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu. Nabi  Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan perkorbanan  puteranya. untuk berbakti melaksanakan perintah Allah sedangkan Nabi  Ismail tidak sedikit pun ragu atau bimbang dalam memperagakan  kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya dengan menyerahkan  jiwa raganya untuk dikorbankan, sampai-sampai terjadi seketika merasa  bahwa parang itu tidak lut memotong lehernya, berkatalah ia kepada  ayahnya:
“Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cubalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku. “
Akan  tetapi parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darah pun  dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicuba memotong  lehernya dari belakang.
Dalam  keadaan bingung dan sedih hati, kerana gagal dalam usahanya menyembelih  puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya:
“Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikkan”.
Kemudian  sebagai tebusan ganti nyawa, Ismail telah diselamatkan itu, Allah  memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang telah  tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau  dengan parang yang tumpul di leher puteranya Ismail itu. Dan inilah  asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap  Hari Raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.
2 komentar:
Salam kenal. Sebuah kisah yang tak akan pernah dilindas zaman. Mari kita teladani bersama.
@Bagus trima kasih; semoga bisa menjadi teladan kita bersama